Minggu, 17 Januari 2016

Ketika Ayah Harus Marah



Salah satu ekspresi emosi yang sulit bagi saya ungkapkan adalah ekspresi marah. Saya merasa sangat buruk dalam mengekspresikan sebuah kemarahan. Belum lama ini saya mengalami sebuah peristiwa yang sangat tidak menyenangkan dan sangat saya sesali pada akhirnya.

Sore itu, kami berempat sedang beristirahat. Saya, istri, Dvn (8 th) dan Dz (2th). Menjelang pukul 16.30, Dz mulai terbangun dan agak rewel, sementara sang kakak sudah terbangun lebih dahulu dan sedang asyik dengan tabletnya. Saya yang masih setengah sadar karena juga baru terbangun, berusaha untuk menenangkan Dz, dengan memangkunya. Dz cukup tenang. Kemudian saya melihat Dvn menggunakan topeng ultraman miliknya dan berdiri tidak jauh berhadapan dengan Dz. Reaksi Dz adalah merengek, tidak suka. Awalnya saya menegur Dvn dengan cara halus. Namun entah mengapa, saya merasa Dvn tidak menghiraukan teguran saya, sampai akhirnya ketika Dvn kembali menggunakan topeng ultraman dan reaksi Dz adalah merengek hendak menangis, seketika saya langsung berteriak keras, "HEY, DIBILANGIN JANGAN GANGGU ADIKNYA, MASIH GANGGU JUGA!"

Reaksi Dvn langsung menangis sesenggukan. Istri saya keluar dari kamar dan kemudian menegur saya. Dalam hati saya segera ber-istighfar. Perasaan di dalam hati saya tidak tenang, jantung berdebar-debar. Seketika saya pun menyesal, namun tidak tahu harus berbuat apa setelahnya.

Untuk mengalihkan perasaan, saya pun mencoba melakukan rutinitas sore itu, dengan menyiapkan air mandi untuk Dz dan Dvn. Setelah air siap, saya memandikan Dz, lalu memanggil Dvn untuk mandi. Setelah itu saya minta ijin kepada istri untuk ke luar potong rambut, yang memang sudah jadi rencana saya sejak siang tadi.

Sepulang dari potong rambut, adzan maghrib mulai berkumandang, setelah mandi, saya pun segera ambil air wudhu dan mendirikan shalat maghrib, diikuti dengan membaca Al-Quran. Saya melihat Dvn sudah jauh lebih tenang dan sudah selesai mendirikan shalat. Setelah membereskan perangkat shalat, saya segera menghampirinya, sembari berbisik, "Maafkan Ayah atas kejadian tadi ya Nak!", sambil mengecup kepalanya. Setelah itu perasaan saya jauh lebih lega.

Ke depan, saya merasa harus lebih pandai mengelola diri dan mengekspresikan kemarahan saya, terutama kepada anak-anak. Jangan sampai saya menyesal di kemudian hari.

Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar