Jumat, 29 Januari 2016

Tentang Memilih Pasangan Hidup

Saya tumbuh besar di keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Papa dan Mama, demikian saya menyebut orang tua saya, adalah pegawai negeri sipil di sebuah institusi pemerintah ketika itu. Terbiasa melihat keduanya bekerja, pergi ke kantor, lalu pulang mengurus segala pernak-pernik urusan rumah, sedikit banyak mempengaruhi cara pandang saya dalam melihat figur wanita yang kelak menjadi pendamping hidup saya.

Papa, adalah figur yang keras dan otoriter. Setidaknya itu yang saya rasakan hingga saya berusia remaja (SMP). Kerasnya didikan beliau tercermin dari kedisiplinan yang beliau tanamkan sejak dini. Saya masih ingat betul, ketika menjelang masuk TK, Papa mengajari saya menulis dari pukul 19.00 hingga pukul 21.00, setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Teraturnya waktu mandi, makan dan bermain. Betapa Papa sangat jengkel bila melihat kamar saya berantakan seperti kapal pecah.

Namun beliau berubah menjadi lebih egaliter ketika saya duduk di bangku SMA hingga sekarang. Saat itu beliau mulai bertanya tentang apa yang saya inginkan dalam belajar. Mau kuliah di mana, ambil jurusan apa. Beliau support dan menyatakan sanggup untuk membiayai selama saya dapat diterima kuliah di Universitas Negeri. Alhamdulillah usaha saya dan doa beliau diijabah Allah SWT.

Mama, adalah figur wanita yang serius tapi santai, senang dengan yang namanya olah raga. Mulai dari sepatu roda, bersepeda, renang, tenis, bola voli, bola basket dan sepak bola. Beliau mengenalkan semua olahraga itu kepada semua anak-anaknya. Hal inilah yang membuat saya menyukai olahraga hingga sekarang, khususnya bola basket, renang dan bersepeda. Saya masih ingat, di usia SD, setiap minggu pagi kami diajak berenang, saya bahkan dikursuskan agar bisa berenang. Kali waktu yang lain, masih di hari minggu, kami dilatih bermain tenis di lapangan tenis milik kantor tempat beliau bekerja.Mungkin Mama bukan orang yang pandai merapikan kamar sebagaimana Papa. Tapi Mama adalah figur yang hangat pada anak-anaknya, penuh perhatian dan welas asih.

Figur Papa dan Mama tersebut mempengaruhi saya dalam menentukan kriteria memilih pasangan. Saya selalu tertarik dengan wanita yang cerdas, aktif, mandiri dan menyukai olahraga. Agama yang sama tentu menjadi kriteria utama, meski dalam perjalanan hidup, saya pernah menyukai wanita yang berbeda agama. Kalau kata Cak Nun, hidup itu adalah proses yang tidak bisa dijustifikasi oleh manusia ketika mencari Tuhan-nya. Sedap!!!

Sosok itu saya temukan pada Kiki, istri saya sekarang. Saya bertemu dengannya di kampus Psikologi Unpad. Sosok yang hadir, namun berkelebat cepat di awal dan akhir waktu kuliah. Sosok yang membuat saya penasaran, kenapa dia tidak nongkrong dulu setelah jam kuliah seperti teman-temannya yang lain.

Sosok yang cerdas, sudah pasti. Alumni SMA 8 Jakarta, rajin kuliah dan berhasil menempuh pendidikan S1 tepat waktu dan S2 dalam kondisi sudah menikah dan sedang hamil ketika itu. Aktif berorganisasi ketika di kampus dulu. Mandiri dalam menyelesaikan banyak persoalan dalam kehidupan, meski jauh dalam hati sanubarinya, dia selalu ingin untuk saya temani. ^_^ Menyukai olahraga dan sempat aktif mengikuti olahraga softball ketika SMA, meskipun tidak seaktif saya ketika sudah menikah.

Saya dan Kiki, bukanlah orang dengan kepribadian yang sama. Kami berdua cenderung memiliki sifat yang berlawanan, yang jika sedang bertentangan dalam satu waktu itu bikin kepala rasanya mau pecah. Namun saya selalu melihat dari sudut yang berbeda. Perbedaan diantara kami adalah kekuatan yang sesungguhnya dalam membangun rumah tangga. Sifat santai saya mampu meredam kecemasannya. Cara kerja saya yang cenderung acak, mampu (sedikit) dirapikan olehnya. Ketika sudah menemukan klik dengan pasangan, rasanya luar biasa menenangkan. Satu momen yang berkesan adalah ketika saya menceritakan apa yang impian-impian saya, dan kami berdua menangis hanya karena membayangkannya.

Tolok ukur kebahagiaan kami bukan materi, melainkan waktu yang dapat kami habiskan bersama-sama. Namun itu bukan perkara mudah, karena faktanya sebagian besar dari kita, terutama para ayah harus pergi meninggalkan keluarganya untuk mencari nafkah. Hal itulah yang ingin saya ubah melalui tulisan-tulisan ini.
Wah jadi ngelantur kemana-mana ya...
Intinya masing-masing orang punya preferensi dalam memilih pasangan hidup. Satu hal yang paling utama ketika sudah mengambil keputusan untuk memilih pasangan hidup, jangan pernah melepaskan pegangan tangan anda dengan pasangan, apapun yang terjadi di hadapan, bahkan kondisi tersulit dan terberat sekalipun. Saya selalu percaya janji Allah di surat Al Insyirah ayat 5 - 8.



Saya bukanlah pribadi yang sempurna, dalam perjalanan saya banyak melakukan kesalahan dalam relasi. Banyak. Namun dari kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, dalam pernikahan, saya selalu melihat pasangan saya tidak pernah melepaskan genggaman tangannya, dia tidak pernah jauh dari saya, dia selalu berhasil membuat saya kembali ke jalan yang benar. Mungkin itu salah satu hikmah Allah menciptakan manusia berpasangan. Saling mengingatkan di jalan Allah.

Bagi pembaca yang sudah menikah, genggam tangan pasangan anda apapun ujian kehidupan yang datang. Bagi pembaca yang belum menikah, segeralah menikah karena menikah menyempurnakan separuh agama.

Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar